- 1. Silent is Gold, Speak up is Diamond
- 2. Menjadi Pendiam Dianjurkan Dalam Islam
- 3. Menjadi Pendiam Yang Tanpa Alasan Yang Tepat
- 4. Jadi? Solusinya Harus Dicari, Bukan Berdiam Diri
- 5. Efek Buruk Mengisolasi Diri: Penyusutan Volume Otak, Fungsi Kognitif Otak, dan Menambah Kecemasan
- 6. Kesimpulan Penelitian Tentang Atrofi Otak dan Gangguan Kepribadi Seperti Anti-Sosial
Sebagian orang yang belakangan banyak diam, menyendiri, dan menjauh dari kehidupan sosial berpendapat bahwa mereka mengalami beberapa efek negatif, apakah benar berdampak negatif pada otak? Atau hanya sugesti saja?
Silent is Gold, Speak up is Diamond
Jawabanya bisa iya, bisa tidak. Tergantung alasan orang tersebut banyak diam, menyendiri, apa yang dia lakukan saat menyendiri. Karena diam ketika banyak orang bebicara pada hal yang kurang berfaidah adalah emas, ini yang dimaksud dalam ungkapan “silent is gold” (artinya “diam adalah emas)”.
1 sumber: devianart
Tapi ketika ada saatnya berbicara menjadi lebih bermanfaat daripada diam, maka ungkapan “speak-up is diamond” (artinya “bicara diibaratkan berlian”, lebih berharga daripada diam yang dilambangkan emas) lebih tepat di kala berbicara lebih dibutuhkan itu. Ingat kaidah: IN THE RIGHT PLACE AT THE RIGHT TIME.
Menjadi Pendiam Dianjurkan Dalam Islam
Ketika Islam kita yakini sebagai sebuah lifestyle, panduan hidup/guidance, the way of life, kita juga yakin bahwa hal ini pasti sudah ada aturannya dalam agama Islam.
Betul, kaidah “berkata yang baik atau diam” ini sudah diatur dalam islam, di dalam (Assunnah) hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam disebutkan:
MAN KAANA YU’MINU BILLAAHI WAL YAUMIL AAKHIRI, FAL YAQUL KHOIRON AU LI YASHMUT (artinya: “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam”)
(HR. Bukhari dan Muslim)2
Maka Menjadi Pendiam Dianjurkan Dalam Islam, sebagaimana speakup juga dianjurkan dalam islam, ketika kita bisa bicara / speak up yang di dalamnya mengandung kebaikan. Demikian juga menarik diri dari hiruk-pikuk komunitas atau sosial, ada kalanya bermanfaat.
Sekarang kita kembali ke perilaku banyak diam, jadi pendiam, menyendiri.
Menjadi Pendiam Yang Tanpa Alasan Yang Tepat
Banyak alasan orang tiba-tiba menjadi pendiam di luar kebiasaannya, misalnya berikut adalah 7 alasan seseorang bisa tiba-tiba menjadi pendiam:
- Mengalami depresi atau gangguan emosi lain seperti kecemasan, yang menurunkan motivasi berinteraksi.
- Menarik diri dari pergaulan sebagai akibat pengalaman sosial negatif atau trauma yang menimbulkan rasa malu atau tidak percaya.
- Memasuki masa puberitas yang menimbulkan perubahan hormon dan tidak stabilnya suasana hati.
- Mengalami masalah harga diri dan percaya diri, sehingga takut salah atau ditolak dalam berinteraksi.
- Kurangnya keterampilan sosial dan kepercayaan diri berinteraksi dengan orang baru.
- Menghindari interaksi sosial sebagai metode melindungi diri akibat sakit fisik atau kondisi kesehatan tertentu.
- Merasa lebih aman dan tenang dengan berkurangnya rangsangan sosial di lingkungan sekitar yang terlalu intens atau penuh tekanan.
Tiba-tiba menjadi pendiam tanpa alasan yang tepat adalah hal yang kurang baik dan hal ini yang bisa berefek negatif.
Jadi? Solusinya Harus Dicari, Bukan Berdiam Diri
Contoh, jika masalahnya adalah mengalami kecemasan, maka harus diatasi hal-hal yang membuat cemas tersebut. Cari akar penyebabnya apakah ada masalah di sekolah, pekerjaan, atau relasi pribadinya yang perlu dibereskan.
Bila mengalami mood-swing, atau perasaan yang berubah-ubah tidak karuan, coba lakukan aktivitas yang bisa meningkatkan mood dan kepercayaan diri seperti olahraga, hobi, atau kelas keterampilan.
Bagi lingkungan sekitarnya yang melihat fenomena ini, baik keluarga atau teman dekat, maka bisa membantunya dengan cara mendorongnya secara perlahan untuk terbuka dan berbagi perasaan. Dengarkan apa masalahnya dan beri dukungan emosional tanpa menghakimi, bantu bangun keterampilan komunikasi dan sosial yang baik dengan memberikan contoh dan latihan, ajak untuk berbicara dengan yang ahli (konselor / psikolog / ustadz) untuk menghilangkan kecemasan tersebut akan membantunya untuk menghilangkan kecemasan.
Begitu juga dengan trauma atau ada pengalaman sosial negatif sehingga menjadi menarik diri, harusnya solusinya adalah mencari circle yang positif yang bisa berinteraksi dan memberikan pengalaman sosial yang positif. Dan seterusnya.
Nah, tapi bagi kamu yang mengalaminya, itu semua tidak mungkin terjadi jika tiba-tiba menjadi pendiam, kan? Jadi, jika ada yang mengalami hal-hal di atas lalu memutuskan untuk menarik diri dari dan/atau menghindari interaksi sosial, tiba-tiba pendiam, dan semisalnya, jika hal itu dilakukan karena alasan yang kurang tepat, malah menimbulkan efek samping.
Di atas sudah kita bahas ya, kadang-kadang kesunyian dan penyendirian dapat bermanfaat bagi otak. Mencari solusi lebih baik daripada sekedar berdiam diri, menutup diri dan bahkan anti-sosial, ini juga sudah kita bahas. Sekarang, apa saja efek negatifnya kalau terus-terusan jadi pendiam tanpa alasan yang tepat?
Efek Buruk Mengisolasi Diri: Penyusutan Volume Otak, Fungsi Kognitif Otak, dan Menambah Kecemasan
Isolasi yang kurang tepat, ekstrim, berkepanjangan dan juga kurangnya interaksi linguistik/sosial dapat memiliki efek neurologis (efek ke otak) yang bisa merugikan secara periodik, diantaranya:
- Atrofi otak pada area pengolahan bahasa dan sosio-emosional. Atrofi otak merujuk pada kehilangan sel-sel saraf (neuron) dan sambungan antar neuron (sinapsis) di area tertentu di otak. Ini menyebabkan penyusutan ukuran fisik dan berat otak.
- Risiko tinggi kecemasan, depresi.
- Penurunan fungsi kognitif otak.
Ada beberapa penelitian terbaru yang menganalisa hubungan antara sikap antisosial, pendiam, dan penarikan diri secara sosial dengan perubahan struktur dan fungsi otak, terutama penyusutan volume pada area-area tertentu di otak.
Penyusutan Ukuran Otak 3
Namun, hasil penelitian masih beragam dan inkonklusif dalam menentukan apakah penyusutan volume otak ini memiliki dampak jangka panjang yang merugikan atau tidak.
Beberapa riset yang membahas hal ini, diantaranya:
1. Von Der Heide et al. (2013) menemukan volume abu-abu yang lebih kecil (menciut) pada area pemrosesan emosi dan fungsi sosial pada (otak) individu pemalu dan pendiam.
2. Santarnecchi et al. (2014) melaporkan atrofi kortikal pada area (otak yang berfungsi untuk) pengolahan emosi, imbalan, dan fungsi eksekutif pada individu dengan gangguan kepribadian skizoid.
3. Spampinato et al. (2020) mencatat penipisan korteks di area yang terlibat dalam kognisi sosial dan proses penghargaan pada individu dengan gangguan kepribadian skizotipal.
4. Kanai et al. (2012) menemukan hubungan antara ukuran gyrus temporal superior dan frekuensi interaksi sosial pada individu yang sehat.
5. Liu et al (2020) mencatat perbedaan aktivasi pada jaringan otak default mode yang terlibat dalam fungsi sosio-emosional antara mereka dengan gangguan kepribadian menghindari versus kelompok kontrol.
6. Machado-de-Sousa et al. (2014) melaporkan penurunan volume substantia grisea amigdala, bagian dari sistem pemrosesan emosi, pada pasien gangguan kepribadian skizotipal.
7. Kitayama et al. (2017) menemukan ukuran korteks prefrontal yang lebih kecil pada remaja dan dewasa muda Jepang yang menarik diri secara sosial.
8. Wang et al (2019) mencatat penipisan lapisan korteks area yang terlibat dalam kognisi sosial pada individu dengan fobia sosial.
9. Dai et al. (2019) menemukan pengurangan volume dan aktivitas area otak yang terlibat dalam teori pikiran, empati, dan fungsi eksekutif pada pasien gangguan kepribadian skizotipal.
10. Yamamoto et al. (2015) mendokumentasikan asosiasi positif antara pemulihan dari gejala negatif skizofrenia seperti penarikan diri sosial dan peningkatan volume hippocampus.
Kesimpulan Penelitian Tentang Atrofi Otak dan Gangguan Kepribadi Seperti Anti-Sosial
Ada teori yang disepakati dari berbagai riset ini, bahwa atrofi otak dan penyusutan volume otak akibat isolasi sosial yang ekstrem atau kurangnya stimulasi sosial-linguistik dalam jangka panjang secara umum ada benarnya, dan beberapa catatan berikut layak mendapat sorotan:
– Atrofi/penyusutan progressive bisa terjadi pada area otak yang bertanggung jawab untuk fungsi bahasa, emosi, dan kognisi sosial jika seseorang menarik diri total dari interaksi dan stimulasi sosial dalam jangka waktu lama.
– Ini disebabkan kurangnya aktivasi saraf dari luar yang dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan dan integritas neuron. Prinsip “use it or lose it” berlaku di sini.
– Selain atrofi, isolasi sosial juga dikaitkan dengan peningkatan inflamasi saraf, tekanan oksidatif, dan kerentanan terhadap penyakit neurodegeneratif.
– Namun efek buruknya bersifat dosis-respon dan dapat dibalikkan atau dihindari jika stimulasi sosial dan aktivasi kognitif cukup dini diberikan kembali. Otak manusia memiliki neuroplastisitas yang baik.
Secara keseluruhan hasil penelitian masih belum konklusif mengenai efek jangka panjang dari penyusutan volume otak akibat sikap antisosial dan penarikan diri. Beberapa studi menunjukkan potensi pemulihan dengan perubahan gaya hidup dan stimulasi sosial maupun kognitif. Diperlukan penelitian longitudional skala besar terhadap populasi yang lebih beragam untuk memahami efeknya dalam jangka panjang.